terobosberita.com - Peringatan Hari Buruh Internasional sudah dipatok setiap tanggal 1 Mei sejak aksi besar yang dianggap berhasil memperjuangkan hak-hak kaum buruh pada tahun 1886, di Amerika, diantaranya hak untuk bekerja tidak lebih dari 8 jam per hari. Karena sebelumnya kaum buruh dipaksa bekerja 16 jam per hari dengan nilai upah yang rendah.
Aksi kaum buruh ketika itu sangat kuat dan solid sehingga bisa meluas ke berbagai seluruh dunia hingga terkenal sebagai peristiwa Haymarket, karena ada 4 demonstran dan 7 orang polisi yang tewas. Kecuali itu, banyak aktivis buruh yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Penetapan hari buruh internasional itu pun baru dimantapkan pada 1 Mei 1889 -- tiga tahun kemudian. Lalu sekarang terus rutin diperingati juga oleh kaum buruh di Indonesia -- setidaknya sejak tumbangnya Orde Baru -- karena sebelumnya masih menjadi bagian dari perjuangan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang cukup berdarah-darah menghadapi sikap refresif dan otoriternya Orde Baru.
SBSI sendiri lahir pada 25 April 1992 ketika rezim Orde Baru sedang galak-galaknya menindas kaum buruh. Dalam rangkaian sejarahnya, setidak SBSI sempat melakukan dua kali aksi mogok nasional hingga yang terakhir dikenal dengan aksi mogok yang terbesar di Medan, Sumatra Utara, tahun 1994. Lalu menyusul lagi aksi buruh di Sidoarjo, Jawa Timur yang menelan korban seorang buruh wanita bernama Marsinah.
Dalam tragedi yang tidak manusiawi ini, sesungguhnya ada pelanggaran ham berat, karena dilakukan secara sistematis dan terencana dengan membuang jasad Marsinah ke tempat yang jauh dari tempat tinggal maupun dari tempatnya bekerja, di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Adapun kegigihan perjuangan aktivis SBSI setelah itu sempat mementaskan drama kematian Marsinah, hingga harus berhadapan secara hukum dengan pihak Kapolres Jakarta Selatan, karena menggembok gedung pementasan di Bulungan itu secara paksa. Dan gugatan SBSI secara hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dapat dimenangkan, hingga menjadi catatan sejarah bagi seniman Indonesia, sejak itu karena birokrasi perijinan pementasan tidak lagi seketat dan sesulit birokrasi yang harus ditempuh sebelumnya.
Tiga puluh tahun persis penulis aktif dalam organisasi buruh sejak awal SBSI dilahirkan tahun 1992, dan amit mundur pada tahun 2022.
Dengan pengalaman pahit yang cukup selama 30 tahun itu, agaknya model perjuangan kaum buruh -- setidaknya sejak reformasi 1998 yang telah membuka pintu kebebasan, belum juga dapat memberi harapan pada kenyamanan dan kesejahteraan bagi kaum buruh Indonesia. Apalagi kemudian, masalah kaum buruh Indonesia pada umumnya sedang direcoki oleh UU Omnibus Law yang banyak memuat beragam masalah itu, meski diperhalus jadi UU Cipta Kerja yang tak kunjung mampu mengatasi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia. Meski dari sisi lain, banyak buruh kasar dari negara asing bisa menikmati lapangan kerja di tanah air kita.
Menatap goepolitik dan geososial perburuhan di negeri kita ini, sebagai aktivis buruh yang sudah dianggap pensiun, saya tidak yakin kehadiran Partai Buruh mampu mengatasi masalah buruh Indonesia yang masih berada pada tingkat kesadaran berorganisasi yang sangat rendah.
Kecuali itu, masalah bagi para aktivis buruhnya sendiri masih juga mengalami berbagai kendala internal, mulai dari kemampuan mengorganisir buruh hingga memberi bimbingan arahan serta pelatihan bagi kaum buruh juga masih sangat rendah. Lantaran semua dilakukan secara otodidak yang tidak disertai oleh hasil koreksi dan evaluasi terus menerus, sehingga kualitas mutu maupun metoda bimbingan, pelatihan atau bahkan pendidikan tetap panggah dilakukan secara konvensional.
Artinya, kehadiran serikat buruh hingga partai buruh yang ingin masuk dalam panggung politik, sungguh berat untuk diharap mengendus angin sorga sekalipun. Setidaknya, pada perayaan May Day tahun 2023 ini -- bisa menjadi penakar dari keberadaan serikat buruh dengan beragam organisasi buruh yang lain untuk menghantar partai buruh naik ke panggung politik dengan tampilan yang lebih meyakinkan, tak lagi mengulang kegagalan sejumlah partai buruh dalam Pemilu pertama kali setelah reformasi.
Langkah besar dan gebrakan yang besar, hendaknya telah bisa dilakukan dengan cara belajar dari masa lalu kehadiran Partai buruh yang sangat kelam dahulu itu. Jika, tidak, partai buruh hanya akan kembali mengulang kisah kekecewaan masa lalu yang seharusnya tidak perlu terjadi lagi itu.
Setidaknya, jika media sosial dapat dijadikan salah satu instrumen penakar dari langkah progresif partai buruh, maka sepatutnya strategi pertarungan di arena politik perlu dicarikan modelnya yang baru. Demikian pula cara membangun kesadaran kaum buruh yang belum bisa diharap banyak menjadi penyangga dan perangkai solidaritas -- kebersamaan -- kiranya mulai dapat segera ditakar pada momentum May Day 2023 untuk lebih pasti melangkah di atas panggung politik, 2024. Bila tidak, mungkin sebelum jauh tersesat untuk kemudian tergelincir jatuh dan menyakitkan, kiranya lebih patut untuk dikaji ulang. Atau, momentum May Day tahun 2023 ini memang hendak dijadikan semacam menguji kemampuan yang sesungguhnya. Layak terus maju, atau harus mundur. (✓)
Sum: Jacob Ereste :